Dewa Poker - Ibukota memang keras. Semua orang di dalamnya mesti berjüang dan berkorban biar tidak tersingkir, dan tidak semüa jalan yang bisa dilalüi itü terang-benderang…Izinkan saya menceritakan kisah hidüp saya. Nama saya Darmini, tapi orang nggak banyak yang mengenal nama asli saya. Bapak dan Simbok memanggil saya Denok, itü panggilan biasa üntük anak perempüan di kampüng saya, tapi artinya nggak cüma itü. Denok jüga berarti montok alias sintal, dan rüpanya arti itü yang lebih diingat banyak orang dalam kehidüpan saya di Ibükota.
Masa kecil saya dihabiskan di kampüng. Saya anak semata wayang, sekelüarga petani penggarap yang tak berpünya. Sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, karena beliaü sendiri waktü müda adalah seorang penari, dan masih sering ditanggap kalaü ada acara di kampüng. Sayang, kehidüpan kami yang damai di kampüng terhenti ketika süatü hari saya dan Simbok dapati Bapak gantüng diri.
Ternyata Bapak pünya banyak ütang gara-gara gila jüdi, dan bapak tidak mampü bayar ütangnya itü. Kami jelas sedih karena Bapak südah tidak ada, tapi jüga bingüng karena beberapa hari setelah Bapak dimakamkan, kami diüsir dari rümah karena rümah kami disita bandar jüdi yang memberi ütang kepada Bapak. Kami tak pünya tempat tüjüan, dan üang simpanan kami tak seberapa. Simbok akhirnya nekat mengajak saya pindah ke Ibükota mencari penghidüpan
“Denok, kita ndak bisa apa-apa lagi di sini, di kota kita bisa coba cari uang, mudah-mudahan di sana mendingan daripada di sini,” kata Simbok.
Saya cuma lulusan SMP, Simbok lulusan SD. Kami sama-sama nggak sadar hidup di Ibukota begitu beratnya. Melamar kerja kesana-kemari, nggak diterima karena dianggap pendidikan kurang tinggi. Cari kerja yang nggak perlu ijazah, saingan banyak sekali. Akhirnya setelah cukup lama mencermati berbagai kesempatan yang ada, Simbok memutuskan untuk memanfaatkan keahlian kami. Dengan bermodal pakaian dan perlengkapan yang kami bawa dari kampung, serta radio tape bekas dan kaset-kaset musik tradisional yang kami beli dari pasar loak dengan sisa uang, mulailah kami berdua menjadi penari jalanan.
Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang siap-siap ujian akhir SMA atau menjalani tahun pertama kuliah, dan yang di desa menunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya mulai menjalani kehidupan baru, menjajakan keahlian seni tari bersama Simbok. Awalnya kami berkeliling Ibukota, sekadar mencari keramaian di mana kami bisa memperoleh beberapa lembar rupiah demi menyambung hidup.
Kami biasa mulai pagi-pagi, menjajaki jalan-jalan Ibukota untuk mencari orang-orang yang mau kami hibur dengan tarian kami. Ternyata nggak gampang juga mencari uang dengan cara seperti ini, paling-paling yang kami dapatkan hanya cukup untuk makan kami berdua, satu atau dua kali pada hari itu. Dan nggak di semua tempat kami bisa mendapat penonton yang bersedia membayar, kadang-kadang kami malah diusir atau dihardik. Setelah cukup lama, kami ketemu tempat di mana kami bisa selalu dapat penonton dan uang: satu pasar induk yang cukup besar, dan lingkungan di sekitarnya.
Kami pun menyewa satu kamar kontrakan murah di dekat Pasar. Banyak orang di Pasar, yang berasal dari kalangan menengah ke bawah, haus hiburan murah yang bisa bikin mereka ingat kampung masing-masing. Kehadiran kami di sana selalu disambut senyum, tawa, dan lembar-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Walaupun tak jarang lembar-lembar itu diberikan kepada kami dengan kurang sopan misalnya dengan diselipkan ke pakaian kami.
Apa saya dan Simbok memang menggoda? Entah ya. Saya sendiri tidak merasa cantik. Sebagai anak petani yang sering main di luar sejak kecil, kulit saya jadi agak gelap terbakar matahari. Tapi Simbok juga dari dulu selalu mengajari dan mengingatkan saya untuk merawat tubuh biarpun dengan cara sederhana, jadi biarpun sawo matang, kulit saya tetap mulus dan tidak jerawatan apalagi bopeng-bopeng lho.
Oh ya, tadi kan saya sudah cerita arti nama panggilan saya, Denok. Dipikir-pikir benar juga sih kalau dibilang saya montok. Enggak tahu kenapa, biarpun rasanya dari kecil makanan saya bergizi pas-pasan, kok tetap saja badan saya bisa jadi ya. Sebelum remaja saja tetek saya sudah tumbuh, dan sekarang jadinya subur gumebyur sampai-sampai saya selalu kuatir dengan kemben saya tiap kali menari. Bokong saya juga kencang gara-gara dibentuk latihan olah tubuh dalam tarian.
Ada yang bilang bahenol, saya sih matur nuwun saja kalau ada yang anggap begitu. Herannya, biarpun atas bawah gede, tengahnya tidak ikut gede, perut dan pinggang saya masih singset. Saya anggap masih singset soalnya kayaknya nanti badan saya akan jadi seperti badan Simbok, tengahnya mulai ikutan lebar. Nah, kalau Simbok itu memang cantik. Sampai umur segitu pun beliau tetap cantik. Apalagi kalau sudah pakai sanggul dan rias, wuihh. Semua orang nengok dan nggak lihat apa-apa lagi.
Saya sendiri selalu merasa jelek lho kalau tampil bersama Simbok. Ah, tapi sedunia cuma saya sendiri yang nganggap muka saya jelek. Selain Simbok, orang-orang yang biasa nonton kami menari kok semuanya bilang saya cantik. Saya pikir, itu sih pinter-pinternya Simbok mendandani saya aja. Waktu pertama kali didandani buat ngamen, saya protes, kok repot amat. Rambut mesti disasak, disanggul, disunggar, pakai tusuk dan kembang. Muka mesti dibedaki tebal-tebal, sampai beda warna dengan badan. Mungkin tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang nggak ketutupan. Alis saya yang sudah tebal dibikin tambah tebal. Bibir juga dikasih gincu warna merah mentereng. Saya waktu itu ngeluh,
“Kok sudah kayak penganten aja, Mbok.”
Simbok menjawab, “Yang namanya penari itu nggak boleh biasa-biasa aja, nduk. Mesti kinclong, manglingi. Kita mesti bikin senang yang nonton.”
Lama-lama saya biasa juga memakai riasan seperti itu, malah saya jadikan guyonan sama Simbok.
“Mbok, aku wis saban hari jadi penganten, ntar kalau nikah beneran mesti kayak apa diriasnya?” Rias wajah yang tebal jadi bagian seragam kerja saya, sama seperti kemben, kain batik, dan selendang.
Tapi memang yang namanya nasib itu jalannya nggak ada yang tahu. Dua bulan kami menetap di dekat Pasar, musibah datang lagi. Waktu sedang nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Luka parah. Saya panik, orang-orang di sekitar ramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tapi Simbok nggak tertolong. Simbok meninggal di rumah sakit setelah dua hari dua malam berusaha diselamatkan dokter di sana. Sebenarnya sejak ketabrak juga Simbok sudah nggak ada harapan, tapi entah kenapa beliau lama sekali meninggalnya.
Sekaratnya sampai seharian. Sampai nggak tega saya melihatnya. Waktu itu ada yang bisik-bisik, mungkin Simbok pasang susuk, makanya meninggalnya susah. Orang kok tega ya ngomong seperti itu. Tapi apakah itu benar atau nggak, saya nggak mau tahu, biarlah itu jadi rahasia Simbok. Saya akhirnya sendirian di Ibukota, sepeninggal Simbok. Ditambah lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit dan pemakaman, malah mesti berutang ke mana-mana.
Saya nggak mampu mengadakan acara macam-macam buat Simbok, hanya bisa mendoakan sendiri semoga arwah Simbok bisa tenang di alam sana dan ketemu lagi dengan Bapak. Seminggu lebih saya di kontrakan saja karena terlalu sedih. Mungkin saban hari saya menangis, sedih mengingat Simbok, juga kesepian. Akhirnya saya memaksa diri untuk keluar lagi, ngamen lagi, karena uang sudah habis dan saya juga mesti hadapi para tukang tagih utang yang nggak mau tahu kesulitan saya.
Jadi, seminggu sesudah Simbok dimakamkan, saya kembali siap-siap untuk keluar, menari. Di hadapan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya biar nggak kelihatan bekas-bekas menangis, saya pakai lagi kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, pas keluar kamar saya malah ketemu dengan ibu yang punya kontrakan.
Si ibu nggak pake basa-basi langsung nagih tunggakan 2 bulan. Saya nggak punya uang, jadi saya cuma bisa bilang maaf, dan si ibu malah ngancam secara halus. Nggak apa-apa nggak bayar, katanya, tapi besok kamu keluar dari tempat saya. Haduh biyung, kok nggak habis-habis ya cobaan buat saya. Saya mau usaha dulu, kata saya, nanti akan saya bayar. Hari itu saya berangkat ngamen, berusaha cari uang buat hidup.
Sialnya, hari itu pasar agak sepi, dan sesudah dua jam saya baru dapat Rp5000 sesudah menari di pangkalan ojek. Saya nggak bisa konsentrasi, kepala penuh dengan pikiran, gimana caranya supaya nanti kalau pulang sudah punya cukup uang untuk bayar kontrakan. Belum utang-utang lainnya. Menjelang siang, saya sedang jalan di barisan toko-toko besar di samping Pasar.
Dan di depan toko beras paling besar di Pasar, saya melihat Juragan sedang menghitung segepok uang. Beliau baru saja terima uang banyak, rupanya ada orang yang habis mborong. Saya waktu itu cuma kenal beliau sebagai ‘Juragan’. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau sudah tua, lebih tua daripada Simbok, mungkin umurnya sudah 50 atau 60 tahun. Kepalanya hampir botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang-jarang. Badannya besar dan perutnya gendut.
Sekali dua kali saya dan Simbok pernah menari di depan tokonya, dan pegawai-pegawainya memberi kami uang tapi beliau tidak. Tapi beliau pernah meminjamkan uang kepada Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri menghampiri Juragan. Dia sendirian di depan toko, sementara anak buahnya sibuk di dalam dan di belakang. Tokonya sedang sepi, tidak ada pembeli.
“Juragan,” pinta saya. “Anu… saya…”
Juragan melihat saya dengan acuh. “Ada apa, Denok?”
“…saya… saya…” Duh, saya nggak kuat bilangnya. Tapi saya harus bilang. “…saya boleh pinjam uang, Juragan? Uang saya sudah habis untuk biaya pemakaman Simbok… sekarang saya mesti bayar kontrakan dua bulan…”
“Hah?” Juragan melihat saya dengan aneh, “Kamu perlu uang?”
“Tolong, Juragan,” saya meminta lagi, “Saya sudah ditagih, hari ini harus ada, atau saya diusir. Saya janji akan kembalikan secepatnya.”
Eh, kok Juragan langsung mengantongi segepok uang yang tadi dia hitung-hitung.
“Denok,” kata beliau dengan dingin, “Aku ini pedagang, bukan tukang ngasih utang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu jualan aja.”
“Saya sekarang juga lagi kerja, Juragan,” saya jengkel tapi tidak berani menunjukkan; sepertinya Juragan tidak mau meminjamkan uang. “Cuma takutnya saya tidak bisa dapat cukup uang hari ini buat bayar kontrakan. Kalau jualan, saya ndak punya apa-apa, mesti jual apa?”
Tapi lantas tatapan Juragan kok berubah jadi aneh… Beliau mendekati saya dan merangkul saya. Tangannya yang besar itu memegang bahu saya.
“Siapa bilang kamu nggak punya apa-apa?” bisiknya. “Badan kamu bagus, Denok. Aku mau kok mbayar buat itu.” Beliau menarik badan saya mendekat ke badannya, sampai pipi saya nempel di samping dadanya yang gemuk.
“Ihh?!” saya kaget dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang namanya bisikan iblis? “Badan… saya?” Bisikan Juragan terus terngiang di kepala saya. Merinding bulu kuduk saya membayangkan apa maksudnya itu.
“Kalau kamu mau, Denok, aku lunasi tagihan kontrakanmu yang dua bulan itu sekalian mbayar untuk bulan depan,” bisik Juragan lagi.
Duh, biyung, saya mesti gimana? Saya perlu uang, tapi apa mesti dengan cara seperti ini? Tapi kalau nggak, bagaimana lagi? Yang ada saya bakal diusir, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama saja. Saya nggak punya pilihan lain…
“…mau, Juragan…” saya berbisik, lirih sekali sampai nggak kedengaran. Kalau saja nggak ketutupan bedak, mungkin sudah kelihatan muka saya berubah merah seperti cabe.
Juragan ketawa, badannya yang gendut itu sampai terguncang-guncang. “Bagus, Denok. Ayo ikut aku. Kamu ikutin aja kataku, nanti kubayar kamu, ya?”
Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan membawa saya naik tangga di samping toko, masuk ke rumahnya. Juragan ternyata tinggal sendirian. Saya penasaran, apa Juragan nggak punya istri? Kami masuk ke rumah Juragan. Saya terus memandangi lantai, tidak berani mengangkat kepala, tapi sekali-sekali saya ngintip kesana-kemari melihat keadaan.
Juragan rupanya tinggal sendirian di atas tokonya. Ada foto tua yang menunjukkan Juragan dengan seorang perempuan—istrinya kah? Juragan menggandeng tangan saya masuk ke satu kamar. Kamar tidurnya. Dia nyuruh saya duduk di ranjang. Saya duduk, sambil menundukkan kepala. Juragan berdiri di depan saya, mengamati sekujur tubuh saya. Dia menyentuh dagu saya, sambil bilang,
“Denok, angkat kepalamu, lihat aku.” Saya nurut. Mungkin dia lihat mata saya ketakutan setengah mati.
“Buka kembenmu,” katanya.
Dia taruh selembar uang Rp50.000 di samping saya. Saya menengok, melihat uang itu. Besar sekali buat saya. Biasanya seharian menari saya tidak pernah dapat uang sebanyak itu. Tapi saya tetap ragu. Juragan tiba-tiba mau mengambil lagi uang itu.
“Kalau nggak mau ya sudah,” katanya dengan nada kurang senang.
Tapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya lepas ikatan kemben di punggung saya, lalu pelan-pelan saya urai lilitan kain kemben merah yang membebat badan saya. Pas tinggal selembar lilitan yang menutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum melihat saya.
“Wahh…susu kamu gede, ya? Bikin orang nafsu ajah…” saya lihat Juragan nyengir lebar setelah ngomong itu. sumpah, baru kali ini ada laki-laki blak-blakan ngaku seperti itu.
Lembar uang lima puluh ribu yang tadi ditaruh Juragan di sebelah saya dia ambil, lipat, lalu dia selipkan ke… aduh! Dia selipkan ke belahan dada saya!
“Itu buat kamu, Denok,” katanya. Duh, nggak percaya rasanya. Sebelumnya saya dan Simbok mesti menari seharian, sampai pegal-pegal, buat dapat uang kurang dari lima puluh ribu. Tapi… sekarang saya dapat uang sebanyak itu … kok gampang banget?
“Beneran buat saya…?” Masih tidak percaya, saya tanya lagi.
“Iya… asal kamu buka semuanya,” kata Juragan sambil menyeringai. “Badan kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…”
Duh, apa maksudnya itu? Apa Juragan suka dengan tubuh saya? Seumur-umur belum pernah ada orang yang bilang itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarnya. Juragan menarik kain kemben yang masih ditahan tangan saya, dan kainnya meluncur begitu saja tanpa saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan kedua tangan. Aduh… malu banget rasanya, telanjang di depan orang lain…Tapi saya bisa dapat uang…
“Nah, Denok, sekarang buka kainnya, ya?” sekarang Juragan minta saya buka juga kain batik coklat yang saya pakai.
Mungkin karena tadi saya malu-malu dan lambat sekali waktu buka kemben, Juragan mendekati saya dan menyingkap kain batik saya. Saya sontak mundur, tapi tangan Juragan lantas memegang pundak saya.
“Jangan takut, Denok…” katanya.
Juragan juga memegang paha saya yang masih sebagian tertutup kain batik. Dia remas sedikit paha saya. Suara “Eihh” keluar dari mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya lantas nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersentuhan dengan kulit paha saya, dan saya makin deg-degan. Dia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara macam-macam dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, sedang diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara kedua kaki, betis, dengkul, sampai paha saya sudah dikeluarkan dari bungkusnya, sedikit lagi kancut saya kelihatan!
“Rebahan saja, Denok!” suruh Juragan.
Saya nuruti perintahnya, pelan-pelan saya rebahkan badan atas saya. Kedua tangan saya tetap nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya copot (apa seharusnya saya copot juga?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sambil saya rebahan itu, tangan Juragan beraksi sangkutan terakhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Kedua tangan saya bagi tugas: satu melintang di depan dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.
Saya ragu-ragu, tapi nggak tahu kenapa, saya juga kok ngerasa gairah saya bangkit? Waduh? Kok begini jadinya? Juragan terus-terusan melihat sekujur tubuh saya, sambil memuji.
“Ayo dong, nggak usah ditutupin,” kata Juragan. “Tanganmu disingkirin dong? Denok, kalau kamu mau kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…”
Kedua tangan saya dipegang Juragan, lalu pelan-pelan diletakkan di samping badan saya. Duh, buyar deh pertahanan saya. Sekarang susu saya nggak ada lagi yang menutupi. Sekarang kancut saya kelihatan.
“Euh… Juragan… mau pegang?” kata saya bingung. “Ja… jadi sekarang tujuh puluh ribu?”
Juragan juga sudah buka baju, dan hanya dengan bercelana pendek beliau naik ke ranjang, posisi merangkak di atas badan saya. Gede sekali badannya, kalau dilihat di atas pasti saya ketutupan.
“Eh!?” pekik saya waktu tangan Juragan yang besar menggenggam tetek saya.
“Wooh, Denok, empuk ya susumu,” kata Juragan. “Kenyal-kenyal kalau diremas…”
“Kh… ihh… apa iya…?” kata saya, sambil merasa jari-jari Juragan memenceti sepasang tetek saya. Muka Juragan mendekat ke muka saya.
“Bibir kamu nggemesin, Denok. Merah, kelihatannya empuk… Ayo, cium aku,” pintanya.
“Ci… cium?”
“Ya. Belum pernah ciuman? Nggak susah kok, cuma bibir ketemu bibir.”
“Eh… kalau cium bibir saya belum pernah, Juragan… paling-paling cium pipi, cium tangan…”
“Ya udah, nggak apa-apa! Ayo…”
“…”
Muka Juragan yang lebar itu menempel ke muka saya, bibirnya yang lebar menempel ke bibir saya, memaksa mulut saya terbuka. Duh, lidahnya ikut main juga, masuk-masuk ke mulut saya, mengajak bergulat lidah saya. Beda sekali rasanya dengan cium pipi atau cium tangan, rasanya hangat, geli… Saya kurang suka bau mulut Juragan, jijik dengan lidahnya yang basah, tapi saya merasa nggak mau melawan, nggak tahu kenapa… Lidahnya melumat lidah saya, bibirnya melumat bibir saya.
Lama sekali kami ciuman, ciuman saya yang pertama, kepala saya terhimpit kepalanya. Duh, yang saya lakukan ini salah nggak ya? Iya, saya mulai sadar saya sedang jual badan saya… itu sebenarnya salah, tapi kok… kenapa saya jadi nggak peduli? Kenapa saya malah jadi bergairah membayangkan bagaimana kelihatannya saya sekarang? Saya nyaris telanjang, susu saya habis diremas-remas, bibir merah saya dilalap, dan badan saya dihimpit badan laki-laki. Bunyi-bunyi jilatan, desahan, dan cairan di mulut saya. Dan saya malah makin larut. Lidah saya mulai menjilat balik lidah Juragan. Air liur Juragan saya telan.
“Uaahhh…” keluh saya ketika Juragan akhirnya menarik bibirnya.
Sisa liur kami dari ciuman basah tadi masih nyantol seperti tali yang menyambung bibir saya dan bibir Juragan.
“Juragan… rasanya kok beda ya…” kata saya. “Jiah!”
Saya kaget waktu Juragan mencubit-cubit pentil saya.
“Gimana Denok, kamu suka dicium seperti tadi? Enak kan?”
“Ahn…” desah saya karena keenakan pentil saya dimain-mainkan, akibatnya omongan saya sudah nggak terkendali,
“Iya Juragan… saya suka dicium kayak tadi…”
“Bener? Bagus, bagus,” Haduh! Juragan nyentuh bagian depan kancut saya! Katanya, “Aku bikin kamu tambah enak di sini ya?”
Juragan menyibak kancut saya dan menowel… menowel… itil saya!
“Coba kalau begini…”
“Nhaaaa!! Iyhaaah? Aahh… jangan!!”
Seperti kesetrum saya waktu itil saya ditowel dan dikocok jari-jari Juragan. Kenapa ini… kok badan saya bereaksi seperti itu?
“Ooh… heehhh… aduh Juragan… kena…pa ini?” saya meracau, bingung dengan badan saya sendiri.
Saya belum pernah disentuh orang di bagian situ. Sumpah, saya nggak tahu ada apa gerangan. Rasanya ada sesuatu yang mau keluar dari dalam badan saya… Saya takut. Juragan terus memain-mainkan itil saya tanpa ampun. Rasanya panas dingin, kalang kabut, merinding! Dan… aduh, nikmat! Ditambah lagi, sekarang Juragan memasuk-masukkan jarinya juga ke… belahan memek saya!
“Aduh, aduh, ahh… Juragan! Juragan udah… jangan! Ah… saya… saya… aduh juragan ada yang mau keluar Juragan… aduh…”
Memang, saya merasa seperti mau pipis… Haduh bagaimana ini, masa’ saya pipis di depan Juragan? Jari-jari Juragan terus main di kemaluan saya, dan nggak tahu kenapa, saya malah ngangkat-ngangkat selangkangan saya!
“Uuuuaaahhh… iyaaA!!”
Bobol-lah pertahanan saya akhirnya, dan terdengar bunyi “criiit” dari itil saya yang memuncratkan sesuatu. Aduhhh… malunya. Saya merasa seperti barusan pipis di ranjang Juragan. (Belakangan saya tahu itu bukan pipis). Tapi… kok rasanya enak dan nikmat sekali, sampai ada yang keluar dari badan saya sesudah itil dan memek saya dimain-mainkan Juragan? Sampai saya ngangkat pinggul saya?
“Haahh… haduhh…” Saya tersengal-sengal, sehabis ngecrit, badan saya seperti habis kena setrum atau kesambar petir. Duh, edan tenan. Sampai gemetaran. Juragan senyum di depan muka saya, sambil bilang, “Nah, itu buat permulaannya, Denok…”
Dan tahu-tahu saja, Juragan sudah buka celana, dan menempelkan… menempelkan… anunya di belahan memek saya!
“Aduh, Juragan…! Itu… Kok ditempel ke anu saya?!” kata saya. Memang saya belum tahu banyak mengenai badan laki-laki dan wanita.
“Ini namanya kontol, Denok,” Juragan menjelaskan, “Kontol ini mau masuk ke memekmu…”
Saya melotot melihat anunya Juragan yang gede dan berurat itu. “Tapi… tapi nggak bakal muat, Juragan!”
“Nggak apa-apa… Kukasih kamu tiga puluh ribu lagi kalau kamu mau kumasuki.”
Kali ini Juragan tidak nunggu jawaban saya. Beliau langsung saja menurunkan badannya yang besar itu, menghimpit badan saya di bawahnya. Dan anunya… kontolnya… masuk ke memek saya! Ampuun! Sakit! Saya sampai njerit!
“AaaaAAAA!! Aduuuu!!”
Juragan mendengus dan menggerung. “Huoooh! Kamu masih perawan ya Denok!? Sempit banget!”
Perawan? Aduh biyung… saya diperawani Juragan! Badan Juragan yang berat menindih badan saya, dadanya menggencet susu saya, kontolnya yang gede itu mencoblos memek saya… menerobos kehormatan saya… Saya merasa sakit campur nikmat campur malu… Aduh, Bapak, Simbok, saya sudah bukan perawan lagi!
“Aku masuk lebih dalam lagi, ya, Denok?” Juragan bertanya tanpa menunggu jawaban, menerobos tambah dalam ke anu saya. Saya cuma bisa bersuara ah uh saja. Lalu pelan-pelan Juragan menarik kontolnya sampai keluar semua… Beliau raih belakang kepala saya, nyuruh saya melihat. Di kontolnya kelihatan bercak darah, darah perawan saya! Haduh biyung. Juragan ketawa, lalu beliau cium bibir saya lagi. Sambil mencium, anunya dia masukkan lagi ke memek saya.
Saya njerit lagi, tapi mulut saya ketutupan mulutnya. Sesudah itu Juragan terus nggenjot saya, keluar masuk, keluar masuk, tambah lama tambah kencang. Badan saya diguncang-guncang, kepala saya menenggak-nenggak, sepasang susu saya gondal-gandul, digoyang gerakan Juragan. Saya sampai nggak bisa ngomong, cuma bisa ndesah dan njerit nggak karuan.
Saya berusaha minta Juragan jangan kencang-kencang, tapi beliau tidak mendengarkan. Tapi…kok saya merasa nikmat, ya? Duh, saya lagi di… dientot sama Juragan, dan saya baru tahu ngentot itu… enak… sudah gitu… saya… dibayar? Kenapa ndak dari dulu saja, ya?Terlintas pikiran seperti itu dalam kepala saya. Tapi saya acuhkan. Saya luluh akibat gempuran-gempuran Juragan. Waktu beliau rebahan dan minta saya tegak, saya nurut. Dan badan saya gerak sendiri, naik-turun sambil masih tersodok kontolnya.
“Aah! Aiih!! Hiih!”
Duh, saya sudah nggak tahu lagi apa yang keluar dari bibir saya, atau seperti apa kelihatannya saya. Muka saya pasti kelihatan mesum banget. Dada saya gonjang-ganjing. Juragan kelihatan senang.
“Hah… uh… Ayo terus Denok… aku senang ndengar suaramu kalau dientot… mbikin tambah nafsu. Kamu juga suka, kan?” Juragan berusaha ngajak bicara. Saya njawab dengan lenguhan dan ocehan nggak jelas, ah-ah uh-uh. “Hauhh… Ga…n! Enakh… ahh…”
“Denokh… uh… nanti kalau udah sampai… kamu njerit yang keras ya?” pinta Juragan di sela-sela nafasnya yang memburu.
“Sampai?” Saya bingung apa maksudnya.
“Nanti juga kamu… uh… hh… rasa sendiri,” kata Juragan.
“Yang seperti… uh… tadi. Aku mau… keluarin di dalam kamu kalau kamu udah… sampai, ya?”
“Hah… ough… di… dalam?” sumpah, saya nggak ngerti apa maksudnya Juragan, dan nggak sempat mikir juga. Mana sempat mikir, kalau kepala saya penuh dengan perasaan nikmat karena dientot Juragan. Tapi nggak lama kemudian saya merasa ada yang memuncak dalam badan saya, seperti waktu itil dan memek saya dimain-mainkan tadi. Apa sudah waktunya?
Saya nggak bisa kendalikan badan saya. Saya makin getol nggoyang pinggul, merasakan kontol Juragan dalam anu saya.
“Eahh!! Uwahh!! Haduhh!! JURAGAAAN!! ANNGGGHHHH!!” Dan menjeritlah saya.
Juragan mendengar saya njerit, dan langsung memegangi tangan saya sambil ngangkat pinggulnya sehingga burungnya masuk sedalam-dalamnya ke memek saya.
“Khn! Ghooh!”
Mata saya melotot, mulut saya nganga, mungkin lidah saya menjulur keluar, saya sudah nggak peduli semesum apa tampang saya selagi saya menjerit keenakan itu. Saya merasakan ada yang keluar di dalam kemaluan saya. Basah dan hangat. Dari anunya Juragan. Untuk pertama kalinya ada orang yang menebar benihnya di dalam badan saya.
“Hiyahh…” erang saya.
Badan saya condong ke depan, kedua tangan saya bertumpu ke dada Juragan, kepala saya mendongak, menganga sambil memekik. Dan akhirnya ambruklah badan saya ke dada Juragan, ngos-ngosan, mendesah-desah. Susu saya yang tergencet jadi menyembul ke samping badan, pentilnya mencuat keras. Beberapa lama saya terkulai di atas badan Juragan yang empuk. Dia lantas menggeser saya dan bangun, lalu memakai lagi bajunya. Sambil berpakaian, dia ngomong ke saya.
“Hehehe. Lumayan juga bisa ndapat perawan siang-siang begini… Kalau kamu mau, Denok, cari uang itu nggak susah…”
Beliau jatuhkan enam lembar lima puluh ribuan ke dekat muka saya. Saya nggeletak nggak karuan di ranjang Juragan, mandi keringat, ngos-ngosan.
“Itu buat kamu,” kata Juragan. “Cukup kan buat bayar kontrakan kamu tiga bulan?”
Saya berbaring agak lama sampai akhirnya kekuatan saya kembali. Buru-buru saya pakai lagi kemben dan kain saya. Haduh, tampang saya pasti sudah ndak karuan. Bedak saya sampai luntur dan nempel di seprai ranjang Juragan. Juragan terus duduk memperhatikan saya yang kalang kabut pakai baju. Beliau diam saja. Saya pamitan dan buru-buru turun. Di bawah, di depan toko mulai ramai. Beberapa orang pegawai Juragan manggil saya, tapi saya nggak berani menghadapi mereka, apalagi pas acak-acakan begini. Saya sampai setengah lari meninggalkan toko beras Juragan, langsung ke kontrakan. Ee, ternyata ibu pemilik kontrakan lagi nangkring di depan.
“Siang-siang kok udah balik, Denok? Lah, kok berantakan gitu? Habis ngapain kamu?”
Semua pertanyaannya saya acuhkan, saya jejalkan uang yang saya dapat ke tangannya, lalu saya langsung mabur ke kamar. Saya langsung buka pakaian serta sanggul, masuk kamar mandi, dan mandi…ngguyur sekujur tubuh, cuci muka. Masih nggak percaya apa yang barusan saya lakukan dengan Juragan. Saya barusan serahkan keperawanan saya ke Juragan… ditukar uang kontrakan tiga bulan. Apa saya sedih atau malu? Apa saya mestinya sedih atau malu? Nggak tahulah… Tapi yang terjadi malah tangan saya mulai meraba-raba selangkangan saya, memainkan itil saya seperti yang dilakukan Juragan tadi…
Saya si Denok, penari jalanan. Ini kisah kehidupan saya. Sesudah hari itu, ada yang berubah dalam kehidupan saya. Saya tetap mencari penghidupan dengan menari untuk orang-orang di Pasar. Tapi ada yang lain…sekarang, kapan saja saya perlu uang, saya nggak lagi segan-segan menawarkan badan saya kepada laki-laki. Saya tahu ini nggak benar, dan harusnya saya berhenti, tapi godaan duit terlalu kuat. Saya si Denok, penari jalanan, semua orang di Pasar kenal saya.
Siapa yang tidak kenal si Denok yang berkemben merah, berbedak dan bergincu tebal, bertahi lalat di pipi. Dan sekarang saya dikenal juga sebagai Denok yang susunya montok, pantatnya sintal, goyangannya mantap. Sudah malam, dan saya baru saja menari buat beberapa orang supir truk pengangkut sayur yang habis bongkar muatan. Saya kalungkan selendang saya ke salah seorang, saya beri senyum manis dan saya bisikkan harga saya kalau dia mau.
“Bener nih, segitu?” kata si supir yang bertubuh kerempeng, berambut cepak, dan mulutnya bau minuman.
“Iya Bang… tapi buat satu orang aja ya… kalau yang lain mau ikutan, nambah.”
“Hehehe,” katanya sambil menjamah kemben saya.
“Mau dong nyobain,” dia remas tetek saya.
Dari semua orang yang ada di sana, cuma dia dan satu orang temannya yang ‘nanggap’ saya. Saya bawa supir-supir itu ke deretan kios kosong di dalam pasar, yang nggak laku-laku disewa karena letaknya terlalu ke dalam. Saya buka salah satunya dan saya nyalakan lampunya, dan dua orang supir itu pun saya layani di sana. Saya digilir mereka berdua di sana. Mereka minta saya layani mereka sekaligus. Jadilah saya dijepit mereka berdua… satu orang ngentoti memek saya, dan yang satunya saya kasih bokong saya.
“Waduh, Neng, pantatnya sempit amat, nih,” kata orang yang nyoblos pantat saya. “Baru pertama kali?”
“Ah, enggak Bang,” kata saya malu-malu, disela nafas memburu.
Temannya iseng menanya, sudah pernah sama berapa orang saya bersetubuh. Berapa ya? Saya pikir mungkin dua puluh atau lebih. Saya nggak ngitung. Saya nggak peduli… yang saya pikir cuma kerja seperti ini lebih gampang dapat uang. Saya juga nggak pernah merasa sendirian lagi.
“Uohhh… buang di dalem boleh gak Neng?” tanya supir yang di depan saya.
Saya ngangguk. Dia muncrat di dalam memek saya. Saya ngerti itu sebenarnya bahaya, tapi rasanya lebih enak… anget dan lebih puas aja rasanya. Dan sesudahnya, saya dapat duit. Sebulan-dua bulan sesudah Juragan ngambil kegadisan saya, saya jadi makin berpengalaman sebagai lonte. Sudah banyak orang di Pasar yang merasakan badan saya: kuli, pedagang, preman, petugas, tukang ojek, supir dan lain sebagainya. Dan saya pun jadi makin akrab dengan mereka semua.
Saya seperti nyimpan semua rahasia mereka. Hihihi… Saya tahu siapa yang kontolnya paling gede, siapa yang lemah syahwat, kadang-kadang saya sampai tahu urusan rumah tangga mereka. Saya tahu orang-orang yang sehari-harinya kelihatan galak atau rajin ke tempat ibadah, tapi kalau sudah pengen, mereka nyari saya juga. Saya juga berkali-kali tidur dengan Juragan. Juragan sering nyuruh saya coba hal-hal baru. Misalnya ngemut dan nyedot. Atau pakai tetek saya buat njepit kontol.
Juga bahwa lubang pantat saya bisa dientot juga. Duh, waktu pertama kali nyoba itu, saya jejeritan. Sakit! Minta ampun sakitnya. Tapi lama-lama kebiasa juga. Saya juga jadi makin kenal dengan Juragan. Perempuan yang ada di foto bersama Juragan itu benar istrinya, tapi sudah meninggal. Meninggal waktu melahirkan anak pertama, anaknya juga tidak selamat. Juragan selama ini kesepian, dan kehidupannya cuma ngurus toko beras saja.
Saya jadi kasihan sama Juragan, ternyata beliau sendirian juga seperti saya. Saya juga jadi tahu bahwa dulu, sewaktu muda dan masih tinggal di kampungnya, Juragan pernah kepincut seorang penari juga. Cuma waktu itu Juragan belum punya apa-apa, apalagi penari itu juga simpanan seorang camat. Juragan cuma bisa nonton dan mengagumi dari jauh tiap kali si penari itu mentas.
Kata Juragan, saya mirip penari itu. Mungkin karena itu juga Juragan selalu minta saya pakai pakaian dan riasan penari lengkap tiap kali beliau nanggap saya…Yah, saya juga ikut senang kalau bisa bikin Juragan senang. Makin hari saya makin larut dalam kehidupan sebagai penari yang juga jualan badan. Karena uang, harga diri saya lupakan, dan saya jadi bahan pelampiasan nafsu laki-laki.
Tiap kali ada orang menggencet saya, menjamah saya, memasuki badan saya… sebenarnya saya ingat jalan ini tidak benar, tapi badan saya terus minta lebih. Saya jadi nggak tahu lagi apa saya masih terus melakukannya hanya karena duit. Makin lama saya makin gawat. Melayani dua-tiga orang sekaligus. Sudah nggak terhitung orang yang membuang benih di dalam rahim saya. Saya pun makin berani.
Akhirnya saya nggak bisa lagi hitung berapa orang yang sudah merasakan badan saya, dan saya pun bunting… Wajar, kalau ingat sudah begitu banyak orang yang bisa menghamili saya. Tapi saya terus melacur walaupun perut saya membesar. Dan saya juga terus datang ke Juragan. Terakhir kali saya tidur dengan Juragan, perut saya sudah mulai menonjol, dan beliau kelihatan agak khawatir dengan saya.
“Sudahlah Denok… Kamu berhenti saja, ingat keadaan kamu,” kata Juragan sambil pelan-pelan menggenjot saya.
“Ndak apa-apa Juragan…” kata saya.
Saya tersenyum buat Juragan. Saya ingat dulu saya tidak senyum buat beliau waktu pertama kali beliau tiduri saya. Tapi sekarang, di antara semua pelanggan saya, saya cuma bisa senyum untuk Juragan… Senyum setulus hati. Kenapa? Entahlah… saya sendiri juga nggak tahu. Mungkin karena sesudah Simbok meninggal, Juragan-lah yang paling dekat dengan saya? Yang jelas saya sungguh menikmati saat-saat bersama Juragan. Termasuk sekarang, waktu beliau sedang senggama dengan saya, sambil tampangnya khawatir. Rasanya saya ingin bikin beliau nggak khawatir. Bukannya sakit, malu, atau jijik, saya bahagia tiap kali badan Juragan bersatu dengan badan saya.
Hampir setahun sesudah saya dan Simbok meninggalkan rumah untuk jadi penari jalanan di Jakarta, ada satu lagi kejadian yang ngubah hidup saya. Saya sudah enam bulan bunting, tapi tetap masih keliling menari… Saya seharusnya sudah berhenti. Tapi saya mbandel. Saya pingsan di jalan. Pastinya ada yang melihat dan membantu saya, soalnya saya siuman di rumah sakit. Tengah malam. Dan di samping tempat tidur rumah sakit, duduk sendirian sambil pegangi tangan saya, ada Juragan.
“Kamu sudah sadar Denok? Syukuuur…” kata Juragan sewaktu melihat saya siuman.
Juragan menangis. Saya nggak bisa apa-apa karena masih lemas. Selanjutnya Juragan kasih tahu saya, beliau dan anak buahnya yang bawa saya ke rumah sakit. Dan bahwa saya keguguran.
“Duh, untung kamu masih selamat, Denok… Tapi anakmu…” Juragan bilang itu semua sambil nangis.
Beliau bilang teringat istrinya, dan sudah takut saya bakal mengalami kejadian yang sama. Beliau genggam tangan saya erat-erat, nggak dilepas-lepas. Dan…
“Denok, maaf… maafin aku. Kalau bukan karena yang pertama kali itu, kamu nggak usah sampai seperti ini… Aku salah, Denok, aku yang ndorong kamu sampai jadi begini… Salahku gede sekali sama kamu, Denok…”
Dengan sedikit kekuatan yang sudah muncul, saya coba rangkul beliau sebisanya.
“Juragan… nggak apa-apa… mungkin ini sudah jalan hidup Denok…”
“Nggak, nggak boleh lagi, Denok… Mulai sekarang biar aku yang nanggung kamu, Denok. Kamu nggak boleh lagi melacur. Biar aku nebus dosaku ke kamu, Denok.”
“Juragan…” saya cuma bisa bilang itu karena masih lemah, sambil berusaha senyum. Kata-kata Juragan penuh arti…
Juragan mendekatkan mukanya ke muka saya
“Jangan panggil Juragan lagi… panggil namaku saja… namaku…”
Ibukota memang keras. Tapi buat mereka yang gigih dan mujur, selalu ada jalan. Sesudah saya keluar dari rumah sakit, Juragan melamar saya. Sekarang saya sudah jadi istri Juragan, dan kehidupan saya jadi jauh lebih baik. Waktu kondangan pernikahan, semua orang di Pasar datang dan memberi selamat ke saya, si Denok, penari jalanan berkemben merah yang sudah ketemu jodoh.
Untungnya, Juragan termasuk dihormati di Pasar dan semua orang tidak ada yang mempermasalahkan pilihan beliau untuk mengangkat saya yang hina dan pernah terjerumus ini. Kini hari-hari saya dihabiskan mengurus Juragan dan membantu Juragan menjalankan toko beras. Juragan dan saya sadar bahwa perbedaan umur kami itu jauh banget, dan Juragan juga sudah tidak muda.
Saya berusaha menjalankan peran sebagai istri dengan sebaik-baiknya untuk Juragan. Tapi ada peran lama saya yang nggak saya lupakan. Sekali-sekali, kalau Juragan minta, saya akan kenakan lagi kemben merah dan batik, sanggul dan kembang, bedak tebal dan gincu merah, untuk kemudian melayani Juragan di ranjang. Memang dulu penampilan penari saya yang membuat Juragan kesengsem, dan memang dengan berpakaian seperti itulah saya jalani malam pertama kami. Itu jadi kenangan penting buat kami, waktu Juragan didatangi seorang penari jalanan.