Dewa Poker - Cerita ini dimulai dari disekolah aku mempunyai seorang teman akrab cewek bernama Shafira. Dia orangnya lumayan cantik, meski lebih pendek dariku namun dia sering sekali gonta-ganti pacar. Shafira memang sangat menarik, apalagi ia sering menggunakan seragam atau pakaian yang minim sehingga terlihat seksi… peduli amat kata guru, pesona jalan terus!
Oia namaku Laily, waktu darmawisata sekolah ke Cibubur, aku dan dia sekamar, dan 4 orang lain. 1 kamar memang dihuni 6 orang, namun sebenarnya kamarnya kecil banget… Aku dan Shafira sampai berantem sama guru yang mengurusi pembagian kamar, dan alhasil, kami pun bisa memperoleh villa lain yang sedikit lebih jauh dari villa utama. Disana, kami berenam tinggal dengan 1 kelompok perempuan lainnya, dan di belakang villa kami, hanya terpisah pagar tanaman, adalah villa laki-laki.
“Laily, lu udah beres-beres, belum?” tanya Shafira waktu dilihatnya aku masih asyik tidur-tiduran sembari menikmati dinginnya udara Cibubur, lain dengan Jakarta.
“Belum, ini baru mau beres-beres.” Jawabku sekenanya, karena masih malas bergerak.
“Nanti aja, deh. Kita jalan-jalan, yuk,” ajak Shafira santai.
“Boleh juga…” gumamku sembari bangun dan menemaninya jalan-jalan.
Kami berkeliling melihat-lihat pasar lokal, villa utama dan tempat-tempat lain yang menarik. Di jalan kami bertemu dengan Ringgo, Rahadi, dan Yudha yang kayaknya lagi sibuk bawa banyak barang.
“Mau kemana, Yud?” sapa Shafira.
“Eh, Shafira. Gw sama yang lain mau pindahan nih ke villa laki-laki yang satunya, villa utama udah penuh sih.” Ringgo yang menjawab.
“Lo berdua mau bantu, nggak? Gila, gw udah nggak kuat bawa semuanya, nih.” Pintanya memelas.
“Oke, namun yang enteng ajaaa…” jawabku sembari mengambil alih beberapa barang ringan. Shafira ikut meringankan beban Rahadi dan Yudha.
Sampai di villa laki-laki, aku bengong. yang bener aja, masa iya aku dan Shafira harus masuk ke sana? Akhirnya aku dan Shafira hanya mengantar sampai pintu. Yudha dan Rahadi bergegas masuk, sementara Ringgo malah santai-santai di ruang tamu.
“Masuk aja kali, Shafira, Lail.” Ajaknya cuek.
“Ngng… nggak usah, Yud.” Tolakku. Shafira diam aja.
“Shafira! Sini dong!” terdengar teriakan dari dalam. Aku mengenalinya sebagai suara Feri.
“gw boleh masuk, ya?” tanya Shafira sembari melangkah masuk sedikit.
“Boleh doooong!!” terdengar koor kompak anak laki-laki dari dalam. Shafira langsung masuk, aku tak punya pilihan lain selain mengikutinya.
Di dalam anak-anak laki-laki sekitar delapan orang, kalo Ringgo yang diluar nggak dihitung, lagi asyik nongkrong sembari main gitar. Begitu melihat kami, mereka langsung berteriak girang,
“Eh, ada perempuan!! Serbuuuuu!!” Serentak, delapan orang itu maju seolah mau mengejar kami, aku dan Shafira langsung mundur sembari tertawa-tawa. Aku langsung mengenali delapan orang itu, Yudha, Rahadi, Feri, Kiki, Dana, Ben, Agam, dan Roni. Semua dari kelas yang berbeda-beda.
Tak lama, aku dan Shafira sudah berada di antara mereka, bercanda dan cerita-cerita. Shafira malah dengan santai tiduran telungkup di kasur mereka, aku risih banget melihatnya, namun diam aja. Entah siapa yang mulai, banyak yang menyindir Shafira.
“Shafir… nggak takut digrepe-grepe lu di atas sana?” tanya Rahadi bercanda.
“Siapa berani, ha?” tantang Shafira bercanda juga. Namun Kiki malah menanggapi serius, tangannya naik menyentuh bahu Shafira. Perempuan itu langsung memekik menghindar, sementara laki-laki lain malah ribut menyoraki. Aku makin gugup.
“Shafir, bener ya kata gosip lo udah nggak perawan?” kejar Roni.
“Kata siapa, ah…” balas Shafira pura-pura marah.
Namun gayanya yang kenes malah dianggap sebagai anggukan iya oleh para laki-laki.
“Boleh dong, gw juga nyicip, Shafir?” tanya Dio.
Shafira diam aja, aku juga tambah risih. Apalagi pundak Feri mulai ditempelkan ke pundakku, dan entah sengaja atau tidak, tangan Agam menyilang di balik punggungku, seolah hendak merangkul. Bingung karena diimpit mereka, aku memutuskan untuk tidak bergerak.
“gw masih perawan, Laily juga… kata siapa itu tadi?” omel Shafira sembari bergerak untuk turun dari kasur. Namun ditahan Roni.
“Gitu aja marah, udah, kita cerita lagi, jangan tersinggung.” Bujuknya sembari mengelus-elus rambut Shafira.
Aku tahu Shafira dulu pernah suka sama Roni, jadi dia membiarkan Roni mengelus rambut dan pundaknya, bahkan tidak marah waktu dirangkul pinggangnya.
“Lail, lo mau dirangkul juga sama aku?” bisik Agam di telingaku.
Rupanya ia menyadari kalau aku memperhatikan tangan Roni yang mengalungi pinggang Shafira. Tanpa menunggu jawaban, Agam memeluk pinggangku, aku kaget, namun sebelum protes, tangan Feri sudah menempel di pahaku yang terbungkus celana selutut, sementara pelukan Agam membuatku mau tak mau berbaring di dadanya yang bidang.
Teriakan protes dan penolakanku tenggelam di tengah-tengah sorakan yang lain. Ringgo bahkan sampai masuk ke kamar karena mendengar ribut-ribut tadi.
“gw juga mau, dong!” Yudha dan Kiki menghampiri Shafira yang juga lagi dipeluk Roni, sementara Rahadi, Ben, dan Ringgo menghampiriku.
Berbeda denganku yang menjerit ketakutan, Shafira malah kelihatan keenakan dipeluk-peluki dari berbagai arah oleh laki-laki yang mulai kegirangan itu.
“Jangan!” teriakku waktu Ringgo mencium pipi, dan mulai merambah bibirku.
Sementara Ben menjilati leherku dan tangannya mampir di dada kiriku, meremas-remasnya dengan gemas sampai aku kegelian. Kurasakan genggaman kuat Feri di dada kananku, sementara Rahadi menjilati pusarku. Ternyata mereka telah mengangkat pakaianku sampai sebatas dada.
Aku menjerit-jerit memohon supaya mereka berhenti, namun sia-sia. Kulirik Shafira yang sedang mendapat perlakuan sama dari Roni, Yudha, dan Kiki, bahkan Dana telah melucuti celana jins Shafira dan melemparnya ke bawah kasur.
Lama-kelamaan, rasa geli yang nikmat membungkus badanku. Percuma aku menjerit-jerit, akhir-nya aku pasrah. Melihatnya, Agam langsung melucuti pakaianku, dan mencupang punggungku. Feri dan Ringgo bahkan sudah membuka seluruh pakaian mereka kecuali celana dalam.
Aku kagum juga melihat dada Feri yang bidang dan harumnya khas laki-laki. Aku hanya bisa terdiam dan meringis nikmat waktu dada bidang itu mendekapku dan menciumi bibirku dengan ganas.
Aku membalas ciuman Feri sembari menikmati bibir Rahadi yang tengah mengulum buah dadaku yang ternyata sudah terlepas dari pelindungnya. Kemaluanku terasa basah dan gatal.
Seolah mengetahuinya, Ringgo membuka celanaku sekaligus CDku sehingga aku langsung bugil. Sedikit risih juga dipandangi dengan begitu liar dan berhasrat oleh laki-laki itu, namun aku sudah mulai keenakan.
“Ssshh…. aaakhh…” aku mendesis waktu Rahadi dan Ben melumat buah dadaku dengan liar.
“Mmmh, buah dada lo montok banget, Laiiiil…” gumam Ben.
Aku tersenyum bangga, namun tidak lama, karena aku langsung menjerit kecil waktu kurasakan sapuan lidah di bibir memekku.
“Cihuy… Laily emang masih perawan…” Agam yang entah sejak kapan sudah berada di daerah rahasiaku menyeringai.
“Ougghh… jangan Gam…” desahku waktu kurasakan kenikmatan yang tiada tara.
“gw udah kebelet, niih… gw perawanin ya, Lail…” Tak terasa, sesuatu yang bundar dan keras menyusup ke dalam memekku, ternyata kontol Agam sudah siap untuk bersarang disana. Aku mendesah-desah diiringi jeritan kesakitan waktu ia menyodokku dan darah segar mengalir.
“Sakiiit…” erangku.
Agam menyodok lagi, kali ini kontolnya sudah sepenuhnya masuk, aku mulai terbiasa, dan ia pun langsung menggenjot dan menyodok-nyodok memekku. Aku mengerang nikmat.
“Ssshh… terusss… yaaa, akh! Akh! Nikmat, Gam! Teruuss… sayang, puasin gw… Ougghh…”
Sementara bokong Agam masih bergoyang, laki-laki lain yang sudah telanjang bulat juga mulai berebutan menyodorkan kontol mereka yang sudah tegang ke bibirku.
“gw dulu ya, Lail… nih, lu karaoke,” ujar Ringgo sembari menyodokkan kontolnya ke dalam mulutku.
Aku sedikit canggung dan kaget menerimanya, namun kemudian aku mulai mengulumnya dan mempermainkan lidahku menjelajahi barang Ringgo. Ia mendesah-desah keenakan sembari merem-melek. Sementara Ben masih menikmati buah dadaku, Rahadi kelihatannya sudah mulai beranjak ke arah Shafira yang dikerubuti dan digenjot juga sama sepertiku.
Bedanya, kulihat Shafira sudah nungging, ala doggy style, kemaluan Dana tengah menggenjot memeknya dan buah dadanya yang menggantung sedang dilahap oleh Kiki, sementara mulutnya mengoral kontol Yudha.
Shafira kelihatan amat menikmatinya, dan laki-laki-laki-laki yang mengerumuninya pun demikian. Beberapa waktu kemudian, kulihat Dana mencapai klimaks, dan kemudian Ringgo yang keenakan kontolnya kuoral juga mencapai klimaks dalam mulutku, aku kewalahan dan hampir saja memuntahkan cairannya.
Mendadak, kurasakan memekku banjir, ternyata Agam sudah mencapai klimaks dan menembakkan air maninya di dalam memekku, laki-laki itu terbaring lemas di sampingku, untuk beberapa menit, kukira ia tidur, namun kemudian ia bangun dan menciumi pusarku dengan penuh nafsu.
Kini, memekku sudah diisi lagi dengan kontol Beni. Kontolnya lebih besar dan menggairahkan, sehingga membuat mataku terbelalak terpesona. Beni menyodokkan kontolnya dengan pelan-pelan sebelum mulai menggenjotku, rasanya nikmat sekali seperti melayang.
Kedua kakiku menjepit pinggangnya dan bongkahan bokongku turut bergoyang penuh gairah. Kubiarkan badanku jadi milik mereka.
“Ougghh…. ssshh… terus, teruuusss sayaaang… akh, nikmat, aaahhh…” erangku keenakan.
Toketku yang bergoyang-goyang langsung ditangkap oleh mulut dan tangan Ringgo. Ia memainkan puting buah dadaku dan mencubit-cubitnya dengan gemas, aku semakin berkelojotan keenakan, dan meracau tidak jelas,
“Ougghh… teruuuss… entot gw, entooott gw teruuss! gw milik luu… aakhh…!!”
“Iya sayyyaangg… gw entot lu sampe puasss…” sahut Ben sembari mencengkeram bokongku dan mempercepat goyangan kontolnya.
Ringgo juga semakin lahap menikmati gunung kembarku, menjilat, menggigit, mencium, seolah ingin menelannya bulat-bulat, dan sebelum aku sempat meracau lagi, Agam telah mendaratkan bibirnya di bibirku, kami saling berpagutan penuh gairah, melilitkan lidah dengan sangat liar, dan klimaksnya waktu gelombang kenikmatan melandaku sampai ke puncaknya.
“Aaakkhh…. gw mau…!” Belum selesai ucapanku, aku langsung mencapai klimaks.
Ben menyusul beberapa waktu kemudian, dan memekku benar-benar banjir. Badan Ben langsung jatuh dengan posisi kontolnya masih dalam jepitan memekku, ia memeluk pinggangku dan menciumi pusarku dengan lemas. Sementara aku masih saja digerayangi oleh Agam yang tak peduli dengan keadaanku dan meminta untuk dioral, dan Ringgo yang menggosok-gosokkan kontolnya di buah dadaku dengan nikmat.
Beberapa waktu kemudian, Agam pun mencapai klimaks lagi. Agam jatuh dengan posisi wajah tepat di sampingku, sementara Ringgo tanpa belas kasihan memasukkan kontolnya ke memekku, dan menggenjotku lagi sementara aku berciuman penuh gairah dengan Agam.
Selang beberapa waktu Ringgo mencapai klimaks dan jatuh menindihku dengan kontolnya masih menancap, ia memelukku mesra sebelum kemudian tertidur. Aku sempat mendengar erangan nikmat dari arah Shafira, sebelum akhirnya benar-benar tertidur kecapekan, membiarkan Beni dan Agam yang masih menciumi sekujur badanku.
Selama tiga hari kami disana kami selalu melakukannya setiap ada kesempatan. Sudah tak terhitung lagi berapa kali kontol mereka mencumbu memekku, namun aku menikmati itu semua. Bahkan, bila tak ada yang melihat, aku dan Shafira masih sering bermesraan dengan salah satu dari mereka.
Seperti waktu aku berpapasan dengan Agam di tempat sepi, aku duduk di pangkuannya sementara tangannya menggerayangi dadaku, dan bibirnya berciuman dengan bibirku, dan kontolnya menusuk-nusukku dari bawah.
Sungguh pengalaman yang mendebarkan dan penuh nikmat badanku ini telah digauli dan dimiliki beramai-ramai, namun aku malah ketagihan akan hal itu.